TINEMU.COM - Kita bisa diingatkan faedah buah. Konon, makan buah menjadikan tubuh sehat. Daftar buah bisa disantap kadang ditentukan harga dan rasa. Pengertian buah pun terbedakan dengan wujud.
Sekian orang bisa menjadikan buah berubah “wujud” saat dimakan atau diminum. Pada suatu masa, buah itu menjadi bubuk atau cairan dalam botol dan kemasan plastik. Buah telah masalah saat kita mau berpikiran pelbagai hal.
Buah tak sekadar di pasar buah atau warung. Buah tak selalu menghuni kebun. Buah berpindah tempat. Buah tampak mata. Buah itu warna dan rasa.
Pada selera berbeda, buah itu kata-kata. Kita mengenali buah itu puisi. Sejak ratusan tahun lalu, puisi-puisi berbuah telah digubah. Orang-orang membaca sebagai sumber pengajaran atau bujukan kenikmatan.
Baca Juga: Kepala BNPB: Perubahan Iklim Picu Peningkatan Kejadian Bencana
Di puisi, buah mungkin umpama. Buah bukan cuma santapan di lidah dan masuk perut. Buah bisa mengarah renungan bersumber cerita-cerita dalam kitab suci. Buah-buah dalam epos dan mitos makin mengantar pembaca sampai renungan-renungan puitis. Di situ, penamaan buah mengingatkan kejadian, tokoh, dan situasi.
Pada 2001, Joko Pinurbo menggubah puisi berjudul “Penjual Buah”. Ia mengajukan biografi tokoh sederhana. Sebutan penjual buah tapi pembaca menemukan bait-bait melampaui buah-buah sebagai dagangan. Puisi mengandung lucu, haru, seru, dan saru.
Awalan masih sederhana: Setiap pagi penjual buah itu lewat/ di kampung kami, keluar-masuk gang/ sambil melantunkan kata-kata hafalan:/ Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya. Joko Pinurbo cocok dalam mendeskripsikan penjual buah di kampung. Di larik terakhir, ia mulai memberi godaan di luar urusan jual-beli buah.
Kita menemukan lelucon setelah rampung membaca bait pertama. Kita lekas ke bait ketiga: “Pisangnya masih, Pak Adam?/ demikian ibu-ibu setengah baya suka bertanya,/ dan sambil tersenyum bangga, penjual buah itu/ menggoda, “Aduh, kok pisang lagi yang diminta?
Baca Juga: Masyarakat Rasakan Manfaat Nyata Adanya Jembatan Kretek 2
Pembaca mulai mencatat dan memikirkan nama penjual buah. Pembaca berimajinasi pisang. Bait itu agak mengingatkan kisah Adam-Eva tapi berurusan dengan buah dinamakan pisang, bukan apel atau “pengetahuan”. Buah itu menghubungkan “kemauan” antara lelaki dan perempuan.
Pisang mengingatkan tubuh. Pisang itu berahi. Kita tak selesai mengartikan sebagai makanan. Pisang itu bentuk. Pisang itu rasa. Pisang itu hasrat. Kita bisa membuat sekian pengertian.
Pada akhir puisi, pisang tak terbaca tapi masih tetap teringat. Joko Pinurbo menulis: Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul/ di kampung kami. Kata seorang nenek/ yang diam-diam mengaguminya, penjual buah itu/ tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah,/ yang belum tentu manis rasanya,/ yang mungkin pahit rasanya./ “Bukan buah sembarang buah,”/ ujar seorang perawan tua sambil menikmati/ apel yang tampak merah dagingnya.
Buah mengisahkan tubuh. Pemaknaan “berlebihan” mengacu kitab suci dan pengalaman raga. Buah dalam alur kehadiran manusia dan “kejatuhan”. Kita sedang membaca puisi, tak harus membuak kitab suci atau menata ulang cerita-cerita lama.
Baca Juga: 593.130 Penumpang Gunakan Kereta Api Selama Libur Panjang Akhir Pekan
Artikel Terkait
Selembar Uang Kertas di Bawah Botol Terbalik
“Keimanan” Mi Instan
Sarasehan Komunitas Sungai: Kembalikan Jati Diri Sungai Sebagai Sumber Peradaban Bangsa
Pengin Bikin Film Seperti Wes Anderson? Cek Karakteristik Film yang Dibuatnya