TINEMU.COM - Sekian tahun, majalah itu sering memamerkan warna merah di sampul. Warna bukan bermaksud mengumumkan selera politik. Warna itu menandai gairah dan pembentukan ingatan. Majalah berusia tua tapi perlahan berkurang pembaca. Ia menuju senja tapi belum mau malam atau tamat. Majalah bernama Panjebar Semangat.
Sejak 1933, ia mendatangi pembaca: memberi berita, iklan, artikel, dan cerita. Tahun-tahun berlalu, Panjebar Semangat masih terbit dengan pelbagai perubahan. Majalah berbahasa Jawa pernah menjadi kegemaran ratusan ribu pembaca. Di situ, tanda-tanda zaman terbaca bersama. Pada masa berbeda, majalah-majalah menjadi dokumentasi rekaman zaman.
Di majalah Intisari edisi Februari 2001, kita diajak mengingat majalah-majalah berbahasa Jawa: Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, dan Mekar Sari. Majalah-majalah pernah hadir di rumah, kantor, sekolah, toko, dan lain-lain. Selama puluhan tahun, majalah memiliki pembaca-pembaca setia. Kini, majalah berbahasa Jawa menanggungkan nasib tak keruan: hidup tapi tanpa janji kekekalan.
Baca Juga: Kertas: Bacaan dan Kegunaan
Kita berimajinasi majalah itu berada di atas meja. Penghuni rumah duduk di serambi atau ruang tamu untuk membaca Panjebar Semangat. Tangan membuka halaman-halaman. Duduk tenang sambil minum teh. Majalah di meja atau terpegang tangan memiliki pesan-pesan kenikmataan bacaan edisi cetak. Di kantor atau sekolah, majalah itu bergantian di tangan para pembaca.
Di Intisari, disajikan penjelasan: “Sebagai majalah umum, isi majalah berbahasa Jawa tidak cuma tentang aneka ragam kebudayaan Jawa. Isinya tidak kalah dengan majalah umum berbahasa Indonesia.” Kita dihindarkan dari pengecapan bahwa majalah berbahasa Jawa melulu mengenai Jawa. Perkara terpokok itu penggunaan Bahasa Jawa.
Panjebar Semangat menjadi majalah berbahasa Jawa tertua. Ia belum ingin dikuburkan meski zaman terlalu berubah. Majalah dipicu misi-misi Soetomo itu sanggup melintasi pelbagai zaman, memastikan Bahasa Jawa tetap tercetak di kertas. Para pembaca masih berhak berpikir dan berimajinasi dengan Bahasa Jawa.
Hal agak mengejutkan dalam penggunaan Bahasa Jawa baku ngoko mengacu Solo dan Jogjakarta membedakan nasib majalah-majalah. Keterangan mengenai Panjebar Semangat dalam bahasa dan peruntungan dalam industri pers: “Uniknya, majalah Bahasa Jawa yang terbit di Surabaya lebih bisa hidup daripada yang di Yogyakarta. Padahal, Surabaya bukan pusat kebudayaan Jawa, pun masyarakat sehari-hari kebanyakan menggunakan Bahasa Jawa dialek Suroboyoan yang khas.”
Baca Juga: Usia: Majalah dan Rumah
Majalah itu beredar di pelbagai desa dan kota. Pembaca sadar selera penggunaan Bahasa Jawa. Mereka tak perlu berdebat. Majalah beredar justru memberi pengharapan Bahasa Jawa masih lestari. Panjebar Semangat dapat digunakan sebagai referensi dalam pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah atau perguruan tinggi. Kita mengira ada misi besar: “panjebar bahasa” dan “panjebar sastra”.
Pada 2023, Panjebar Semangat masih terbit dan makin menua. Majalah berhak nanti mencapai usia seratus tahun. Kita bisa melihat majalah itu di agen atau kios koran. Jumlah sedikit tapi mengabarkan belum ada kematian. Kita menebak orang-orang mau membaca Panjebar Semangat mungkin bekerja sebagai guru, pedagang, atau pegawai di kantor. Mereka berusia tua, memiliki nostalgia bersama pembaca-pembaca dahulu getol menikmati Panjebar Semangat.
Di pasar buku dan majalah bekas, majalah-majalah berbahasa Jawa dicari para kolektor. Mereka tak mau kehilangan bacaan mengandung “semangat” zaman. Majalah-majalah dibeli dengan harga terjangkau untuk memastikan pendokumentasian. Kerja dokumentasi menanti orang-orang menjelaskan pers dan masa lalu. Album dokumentasi berhak digunakan dalam penggarapan tesis dan disertasi saat zaman melulu bercap digital.
Baca Juga: Resensi Film Not Okay, Betapa Beracunnya Media Sosial
Kita membaca majalah Intisari menemukan ingatan-ingatan sekian majalah berbahasa Jawa pernah terbit dan lestari. Majalah-majalah itu mengandung “sejarah” dan biografi, tak selalu masalah industri pers cetak. Begitu.**
Artikel Terkait
100 Tahun Sang Nabi, Gibran dan Sri
Jejak Tionghoa di Ranah Minang
Misteri: Ada yang Menyerupai Saya
Pemprov Jawa Barat Kembali Usulkan Inggit Garnasih Jadi Pahlawan Nasional