TINEMU.COM - Kebiasaan membaca majalah kadang tak sekadar mengingat berita atau kolom. Iklan-iklan pun teringat dengan perbedaan derajat kesan. Pembaca bisa membedakan majalah-majalah berlimpah iklan atau miskin iklan. Penggunaan kertas dan kualitas cetak menentukan kemauan menikmati iklan. Gagal menikmati iklan-iklan bukan sejenis dosa bagi pembaca.
Pada masa lalu, Tempo pernah mengalami masa berlimpah iklan. Pembaca mungkin tak terlalu menuntut atau menggugat. Halaman-halaman mengenai berita dan kolom sudah memberi kepuasan untuk merenung atau berdebat. Puluhan halaman iklan bisa mudah dilupakan atau dimaklumi. Majalah memang tebal gara-gara pasukan iklan.
Pembaca mau sejenak istirahat dari berita-berita besar dan kolom-kolom serius kadang “bersantap” iklan. Pilihan agar tak sia-sia mengeluarkan duit saat membeli majalah. Pilihan untuk menghormati kerja-kerja periklanan. Dampak-dampak berpikiran arloji, mobil, rokok, makanan, baju, atau bank itu diterima tanpa kecepatan membuat keputusan sebagai konsumen.
Baca Juga: Asyik! KAI Kembali Bagikan Tiket Eksekutif Gratis
Di majalah Tempo, 14-22 Februari 1999, pembaca menikmati sekian iklan mungkin mengesankan. Cara menikmati iklan dipengaruhi situasi setelah kejatuhan rezim Soeharto. Iklan-iklan berbeda citarasa dari masa lalu. Imajinasi bersumber iklan tak terlalu (lagi) mendapat batasan-batasan ketat meski ada kemungkinan-kemungkinan bantahan, perlawanan, atau “larangan”.
Kita memilih dua iklan menawarkan Tempo. Majalah itu terbit lagi setelah dulu ditamatkan berlatar masa Orde Baru (1990-an). Tempo mengajak orang-orang menjadi pembaca. Sekian pembaca lama berhak menikmati lagi. Pembaca-pembaca baru diharapkan bertambah. Iklan atau pengumuman diperlukan dalam melariskan Tempo.
Di halaman 38, kita membaca pengumuman tentang Tempo menampilkan kutipan dari tulisan lama: pengantar redaksi, 1971. Pemuatan ulang itu penting agar para pembaca terhubung masa lalu. Mereka diajak memastikan sejarah Tempo dan pengaruh. Kutipan masih menggunakan ejaan lama: “Azas djurnalisme kami oleh sebab itu bukanlah azas djurnalisme politik, jang memihak satu golongan. Kami pertjaja bahwa kebadjikan, djuga ketidak-badjikan, tidak mendjadi monopoli satu pihak. Kami pertjaja tugas pers bukanlah menjebarkan prasangka, djustru melenjapkannja, bukan membenihkan kebentjian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian.”
Baca Juga: Gelar UMKM Fest on Train 2023, KAI Hadirkan Produk UMKM di Kereta Makan
Tempo memiliki pijakan terus diamalkan sampai pergantian abad. Lama tapi tetap “terpenting” bagi misi pers. Pada saat terbit lagi, pijakan itu disajikan agar para pembaca tak melupa bahwa Tempo memang berubah dalam penampilan atau sajian rubrik tapi memiliki “iman” tetap sejak 1971.
Pengumuman dari masa lalu dilengkapi iklan di sampul belakang bertema 28 tahun Tempo (1971-1999). Tempo masih dikenali dengan seruan “enak dibaca dan perlu”. Iklan agak mencengangkan dengan tampilan sosok mengingatkan Monalisa. Sosok dalam lukisan moncer di dunia persembahan Leonardi da Vinci. Gambar itu telah mengalami modifikasi.
Para pertambahan usia, Tempo mengajak orang-orang agar tersenyum. Ajakan ditulis dengan tanda seru: “Senyumlah!” Kita ingat bahwa 1998-1999, jutaan orang Indonesia mudah marah, menangis, kecewa, jengkel, terharu, murung, dan girang akibat beragam krisis: dari ekonomi sampai moral.
Baca Juga: Pendaftaran Kongres Bahasa Indonesia XII Masih Dibuka, 1.500 Orang Akan Bertukar Gagasan
Kita tak menduga ajak senyum disampaikan Tempo. Ajakan meralat keadaan atau usaha mencipta imajinasi kebalikan dari lakon-lakon buruk di Indonesia. Tempo mengumumkan: “Kita sekarang perlu: (1) senyum yang lembut, (2) mata yang ramah, dan (3) sebuah berita mingguan yang tidak membingungkan.” Di situ, ada dua tampilan dua edisi Tempo. Di bawah, kita melihat sampul majalah memuat wajah Soeharto. Dulu, ia dihormati dan ditakuti gara-gara “senyum”.
Sejak lama, Tempo biasa berhadapan dengan rezim Soeharto. Nasib majalah Tempo tak bisa dipastikan selamat jika sedang melakukan peran memberi “peringatan” atau “sindiran” atas kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Tempo memang memiliki pijkan dalam memenuhi peran pers dalam beragam situasi politik. Sejak puluhan tahun lalu, Tempo berani “tersenyum” di hadapan Soeharto “tersenyum”. Pada 1999, Tempo memerlukan ajakan “tersenyum” saat pemulihan, perubahan, atau perbaikan tata kehidupan di Indonesia sedang diwujudkan. Begitu.**
Artikel Terkait
Ki Hadjar Dewantara: Buku, Nama, Makan
Ki Hadjar Dewantara: Tulisan dan Peringatan
Rumah Pengasingan Bung Karno di Bumi Rafflesia
Nasi Tak Berapi