TINEMU.COM - Bing-sia baru tahu maksud Ci In-hong hendak menggendongnya kabur. Memangnya Bing-sia adalah nona yang berjiwa maju, berwatak seperti laki-laki. Kini ia pun merasa dirinya tidak sanggup menggunakan ginkang untuk melarikan diri, karena keracunan, terpaksa ia tidak benyak berpikir lagi tentang sirikan antara laki-laki dan perempuan.
Padahal selama hidupnya belum pernah ia berdekatan begitu dengan seorang laki-laki, keruan mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar keras menggemblok di punggung Ci In-hong.
Luka di pundak kiri Ci In-hong itu hanya luka lecet saja, tidak berhalangan,hanya saja darah bercucuran. Bing-sia tidak berani memegang pundak yang terluka itu, maka yang dipegang hanya pundak sebelah lain. Hatinya sangat berterima kasih dan kikuk pula.
Sementara itu si Jay-hoa-cat sudah memburu keluar, sambil menggendong Bing-sia baru saja Ci In-hong melompat ke atas genting rumah.
“Mau lari kemana?” bentak Jay-hoa-cat. “Turun saja!”
Berbareng ia terus menghantam dari jauh, maksudnya hendak memaksan lawan turun kembali dengan pukulannya yang dahsyat.
"Kau punya Thian-lui-kang masih kurang sempurna, pulang saja dan berlatih lagi dua tahun!” jengek In-hong. Dari atas rumah ia pun sambut lawan dengan pukulan yang sama. Karena gempuran tenaga pukulan yang hebat itu, bubungan rumah sampai ambrol dan berhamburan pecahan genting.
Namun Ci In-hong tidak jatuh kejeblos, ia masih sempat melompat ke rumah penduduk di sebelah sana. Sebaliknya Jay-hoa-cat itu yang tergentak mundur beberapa tindak, dadanya seperti kena digodam keras-keras dan hampir-hampir rubuh.
Keruan ia terkejut, pikirnya, “Thian-lui-kang keparat ini memang benar lebih lihai daripada diriku, meski dia sudah terluka, kalau kukejar dia sendirian mungkin sukar mengalahkan dia.”
Rupanya ia insaf Ho Kiu-kong dan istrinya tiada berguna diharapkan bantuannya untuk mengejar Ci In-hong di atas genting. Dan karena rasa jerinya itu, terpaksa Jay-hoa-cat itu harus menyaksikan Ci In-hong kabur begitu saja dengan menggendong Bing-sia.
Sambil menggemblok diatas punggung Ci In-hong dengan suara terharu Bing-sia berkata, “Ci-toako, sungguh aku tidak pantas mencurigai kau, ternyata kau adalah orang yang sangat
baik hati.”
“Kini belum waktunya bicara, lekas pegang kencang pundakku,” sahut In-hong.
Meski musuh tidak berani mengejar, namun ia harus berjaga-jaga segala kemungkinan. Setelah lari ke luar kota, melihat musuh tidak mengejar, legalah hati mereka. Ci In-hong menggendong Bing-sia ke dalam sebuah hutan yang rindang, lalu diturunkan dan duduk mengaso di situ.
Bing-sia lantas mengeluarkan obat untuk dibubuhkan di atas luka Ci In-hong. Ia merasa tidak enak ketika melihat jidat in-hong penuh keringat, katanya, “Ci-toako, aku hanya bikin susah padamu saja. Badanku masih terasa lemas, tulang juga linu, bagaimana baiknya sekarang?”
“Aku masih ada sisa Siau-hoan-tan pemberian Siau-lim-si kepada Suhuku, coba Nona minum pil ini, nanti kubantu melancarkan darah untuk mengembalikan tenagamu, dengan demikian engkau tentu dapat pulih dalam waktu tidak lama,” kata In-hong.
Artikel Terkait
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (178)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (179)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (180)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (181)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (182)