TINEMU.COM - Puluhan tahun lalu, para remaja di Indonesia menjadi pembaca buku. Mereka biasa mendapat tuduhan macam-macam dari pejabat, kaum moralis, dan pendidik. Tuduhan biasa jelek: nakal, malas, asusila, dan lain-lain.
Pada masa Orde Baru, kaum remaja dituntut dalam kesuksesan pembangunan nasional. Mereka “diharuskan” pintar, berbakti, tertib, bermoral, dan nasionalis. Kaum remaja membaca buku mungkin tidak terlalu menimbulkan masalah bagi kemapanan kekuasaan Soeharto.
Konon, rezim Orde Baru tampak “memusuhi” para remaja bila membaca komik dan buku-buku cabul. Pemerintah menghendaki kaum remaja mendingan khatam puluhan buku pelajaran. Mereka bakal “dijamin” bergelimang ilmu. Mereka menggirangkan pemerintah telanjur membuat slogan-slogan besar bertema pendidikan.
Baca Juga: Pendirian Sekolah Adat, Upaya Lestarikan Adat Marapu di Sumba Timur
Buku selera kaum remaja tetap mendapat tatapan tajam dari negara. Mereka diharapkan bukan menjadi penggugat atau pembantah setelah rajin membaca buku. Indonesia tak menginginkan kaum remaja terlena imajinasi atau menggerakkan imajinasi sebagai senjata mendurhakai pemerintah.
Buku-buku terbit tak semua berhasil disensor oleh pemerintah atau pihak-pihak ingin menjinakkan kaum remaja. Buku-buku berhasil dipegang dan dikhatamkan kaum remaja menjadi bukti industri perbukuan menghasilkan laba besar.
Pada dekade awal Orde Baru, buku laris dinikmati kaum remaja di Indonesia itu berjudul Gita Cinta dari SMA (1978) gubahan Eddy D Iskandar. Buku mencantumkan diksi cinta cukup menggoda untuk dikhatamkan dulu ketimbang buku-buku pelajaran.
Novel mustahil dijuduli “Gita Pembangunan dari SMA”. Pada saat pemerintah mengeluarkan uang miliaran rupiah dalam mengadakan buku anak dan remaja cap Inpres, novel-novel Eddy D Iskandar digemari ribuan pembaca. Pesta bacaan itu ditambah berlimpahan majalah-majalah untuk remaja.
Baca Juga: Begini Cara Dapatkan Diskon 20 Persen bagi Penumpang Disabilitas Kereta Api
Pengarang menampilkan Ratna Suminar Sastroatmodjo sebagai murid SMA menantikan perhatian dari Galih Rakasiwi. Ia murid baru, mendapat godaan dari murid-murid tapi Ratna justru berharap dekat dengan Galih. Bisikan dalam hati: “Heran di zaman modern ini masih ada pelajar yang tak malu pakai sepeda.”
Ratna melihat Galih bersepeda berbeda dengan teman-teman tampil bergengsi dengan sepeda motor atau Vespa. Ratna berharap bisa membonceng di sepeda Galih. Ikhtiar dan doa demi akrab.
Kita mula-mula menemukan novel itu melulu asmara. Pembaca agak terkejut mengetahui pengarang mengingatkan nasionalisme melalui rutinitas Senin. Peristiwa mengesahkan rezim Orde Baru: “Hari Senin pagi, seperti biasa, selalu ada upacara sekolah. Penaikan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan pidato dari kepala sekolah.”
Kita pernah menjadi murid merasakan rutinitas itu membosankan dan melelahkan.
Baca Juga: Karya Seni Instalasi ‘Semangkuk Kemerdekaan’ Tuai Pujian Ibu Negara di KTT ke-43 ASEAN
Galih, Ratna, dan teman-teman mengikuti rutinitas dengan obrolan. Mereka tak khidmat. Pelanggaran khas remaja bosan di awalan Senin. Di sela menembangkan Indonesia Raya, murid-murid SMA itu berbisik dan tertawa bertema asmara. Lagu itu terasa romantis.
Artikel Terkait
Angkat Isu Perdamaian, Pertunjukan Teatrikal Bongaya Awali Festival Budayaw IV
Kebaya Encim Ibu Iriana dan Budaya Betawi di Panggung KTT ASEAN
Karya Seni Instalasi ‘Semangkuk Kemerdekaan’ Tuai Pujian Ibu Negara di KTT ke-43 ASEAN