Baca Juga: Berhak 100 Tahun
Su-lam sangat kecewa. Berita demikian memang tiada banyak bedanya dengan cerita yang didengarnya di rumah, hanya saja cerita Beng Siau-kang ini lebih jelas sedikit, terutama mengenai tempat pertanian yang pernah didiami oleh ayahnya tiga tahun yang lalu. Ia merasa bersyukur paling tidak telah diperoleh sedikit berita tempat tinggal ayahnya. Hanya saja hidup-mati sang ayah masih belum diketahui, mau tidak mau ia merasa khawatir juga.
Kemudian Beng Siau-kang bicara pula: “Aku pernah mencoba kepandaian orang itu, agaknya ilmu silat ayahmu jauh sekali dibandingkan kau."
“Ilmu silat keluarga kami memang sudah tidak terpelihara, apalagi turun temurun keluarga kami selalu bertani,” sahut Su-lam. “Kepandaianku sendiri seluruhnya adalah ajaran Suhu.“
Begitulah kedua orang bicara sebentar lagi, namun sikap Beng Siau-kang sudah tidak semesra semula. Setiap pertanyaan Li Su-lam selalu dijawab seperlunya saja. Sampai akhirnya Su-lam merasa capek sendiri dan menguap ngantuk.
“Kau tentu sangat lelah, silahkan kau tidur saja, aku akan periksa keadaan di luar,” kata Siau-kang. Baru Su-lam teringat kepada Bing-sia yang telah pergi sekian lamanya masih belum kembali. Maka setelah Beng Siau-kang keluar mencari puterinya, di dalam kemah tertinggal Su-lam sendirian.
Baca Juga: Kertas: Bacaan dan Kegunaan
Sebenarnya Su-Lam sudah mengantuk, tapi teringat kepada Bing-sia yang masih belum pulang, ia menjadi khawatir dan tidak dapat pulas. Sampai sekian lama pula masih belum tampak kembalinya Beng Siau-kang dan puterinya. Ia menjadi tidak betah dan pergi ke luar kemah, pikirnya hendak mencari mereka. Tapi ia tidak tahu di mana letak sumber air yang dikatakan, kemana ia harus mencari?
Selagi ia ragu, tiba-tiba dari tempat kejauhan seperti ada suara orang berbicara, apa yang dibicarakan tidaklah terang. Ia pernah belajar cara mendengarkan suara dengan mendekam di atas tanah. Apalagi gurun yang luas itu sekarang sunyi senyap, maka suara yang jauhnya beberapa li dapat didengarnya dengan cukup jelas.
Semula ia khawatir suara orang-orang itu adalah suara musuh. Tetapi begitu mendengarkan secara cermat, maka giranglah hatinya. Ternyata suara yang didengar itu adalah suaranya
Bing-sia yang dikhawatirkannya tadi. Saat itu terdengar Si Nona sedang berseru: “Jangan, ayah!”
Lantaran tidak dengar kata-kata bagian depan Si Nona, Su-lam terkejut sebab tidak tahu apa maksud “jangan” yang diucapkan Bing-sia itu. Lalu terdengar pula suara Beng Siau-kang: “Kukira lebih baik dibereskan saja!” Apa yang dibereskan? Apakah maksudnya hendak
membunuh? Siapakah yang hendak dibunuhnya? Demikian Su-lam tidak habis heran, mengapa ayah dan anak itu bertentangan pendapat.
Baca Juga: Usia: Majalah dan Rumah
Sebenarnya ia tidak ingin mendengarkan rahasia orang, tapi terdorong oleh rasa ingin tahu, ia coba mendengarkan lagi. Terdengar Si Nona lagi berkata: “Ayah, bukankah kau sering mengatakan pedang kita jangan digunakan membunuh orang yang tak berdosa?”
“Benar. Tapi orang berkepandaian seperti dia, kalau sampai melakukan perbuatan busuk tentu jauh lebih berbahaya.”
“Tapi sekarang dia kan tidak berbuat kejahatan apa-apa.”
Artikel Terkait
Cerbung: Pahlawan Padang Gurun (1)