TINEMU.COM - “Kami hendak menunggu kembalinya Song Thi-lun dan istrinya, setelah bergabung segera kami kembali, biarlah kalian berangkat dulu,” jawab Bing-sia.
"Ah, kamipun tidak terburu-buru hanya untuk beberapa hari saja, biarlah kita berombongan kan lebih ramai. Bukankah demikian, engkoh Lam?” ujar Nyo Wan.
Belum lagi Su-lam menjawab tiba-tiba Bing-sia telah mendahului berkata: “Tapi kami masih harus bergabung dengan beberapa tokoh kalangan Hek-to, mungkin kalian kurang biasa bergaul dengan mereka. Apalagi pihak Mongol sedang menguber Su-lam, kukira kalian tidak perlu tertunda di sini lebih baik berangkat lebih dulu saja.”
Agaknya Bing-sia kuatir Nyo Wan banyak menaruh curiga, maka tidak ingin berombongan dengan mereka. Karena begitu ucapan Bing-sia, dengan sendirinya Nyo Wan tidak dapat memaksa. Katanya kemudian, “Baiklah, jika begitu kami akan berangkat lebih dulu. Semoga sekembali di Tionggoan kita dapat berjumpa pula.”
Baca Juga: Ini Sebaran per Provinsi untuk Hotel Jemaah Indonesia di Makkah
Begitulah mereka lantas meninggalkan lembah kupu-kupu itu. Sepanjang jalan Nyo Wan dan Su-lam sama-sama tercekam oleh perasaan masing-masing.
Dua hari kemudian mereka sudah mendekati perbatasan negeri Sehe dan Kim. Tiba-tiba debu mengepul tinggi di depan sana, suatu rombongan besar kaum pengungsi membanjir tiba dalam keadaan ketakutan.
“Terjadi apa di depan sana?” Su-lam tanya kepada salah seorang pengungsi itu.
Memang Li Su-lam sudah menduga pihak Mongol pasti akan mengalihkan pasukan nya ke barat, tapi serbuan yang begitu cepat sungguh diluar dugaannya. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan untuk kembali ke arah datangnya tadi untuk menghindari bahaya.
Sementara itu sepanjang jalan sudah penuh dengan pelarian pengungsi sehingga kuda mereka sukar melangkah. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan menyimpang ke pinggir
jalan. Tapi belum mereka keluar dari lautan kaum pengungsi, tahu-tahu pasukan Sehe yang kalah telah membanjir tiba pula. Pasukan yang kalah itu hanya memikirkan menyelamatkan diri dan sama sekali tidak perduli mati-hidup rakyat jelata, kuda mereka terus menerjang ke tengah lautan manusia, banyak kaum wanita, orang tua dan anak kecil terinjak-injak sehingga suara jeritan tangis gemuruh memekak telinga. Prajurit yan tak berkuda juga tahunya menerjang untuk cari selamat, banyak rakyat jelata yang tidak sempat menyingkir telah menjadi korban.
Baca Juga: Teknisi Honda Indonesia Juarai Kompetisi Teknik Sepeda Motor se-Asia Oceania
Su-lam menjadi gusar melihat kelakuan prajurit-prajurit Sehe itu, takut terhadap musuh, tapi mengganas terhadap rakyat sendiri. Pantas pasukan Mongol dapat mengalahkan mereka dengan mudah. Tiba-tiba suatu regu tentara kalah itu menerjang ke arah mereka sambil berteriak-teriak, “Aku mau kudamu! Aku ambil betinanya!” Belum apa-apa mereka sudah ribut mau membagi rejeki.
Keruan Su-lam dan Nyo wan menjadi murka, mereka putar pedang membinasakan beberapa orang di antaranya, habis itu barulah tentara kalah itu kapok dan melarikan diri. Namun regu ini lari, regu yang lain sudah tiba pula.
Dengan gusar Su-lam siap membereskan pula tentara-tentara pengecut itu. Tapi mendadak tentara pelarian itu berceri berai kabur serabuatan tanpa mengutik-utik mereka lagi. Semula Su-lam heran, tapi ia memandang ke sana barulah tahu apa sebabnya, kiranya sepasukan tentara Mongol sudah datang mengejar.
“Kau ikut di belakangku, adik Wan!” seru Su-lam. Cepat ia rampas dua buah tombak panjang dan segera digunakan alat pembuka jalan lari. Setiba di padang yang sepi, ia memanggil Nyo Wan tapi tidak mendapat jawaban, ia menoleh, ternyata Nyo Wan sudah hilang. Keruan kejut Su-lam tak terkatakan. Disangkanya sejak tadi Nyo Wan selalu mengikuti di belakangnya, siapa tahu nona itu telah diterjang oleh kekacauan sehingga terpisah.
Artikel Terkait
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (75)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (76)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (77)