TINEMU.COM - Sejenak kemudian barulah Su-lam dapat menangis, ratapnya, “O, Wan-moay, alangkah malang nasibmu. Bila kau mati, mana aku dapat hidup sendiri?”
Melihat keadaan Su-lam itu, Ciok Bok dapat menduga huibungan antara Su-lam dan Nyo Wan yang ditanyakan tentu tidak terbatas “kawan biasa” saja. Segera ia menghiburnya, “Li-heng jangan sedih dulu, mungkin penglihatanku keliru, apalagi kejadian itu kulihat dari jauh, apakah nona baju merah itu betul sudah meninggal atau belum tidaklah diketahui dengan pasti. Pula, kukira kaum kita harus berpandangan jauh dan berpikir luas, jangan cuma memikirkan kemalangan kawan atau sanak keluarga sendiri saja.”
Ucapan terakhir ini seperti kemplangan di atas kepala Li Su-lam, ia tersentak kaget, jawabnya kemudian: “Ya kata-kata Ciok-heng memang benar, akulah yang salah.”
“Dalam pertempuran yang kacau entah betapa banyak jatuh korban rakyat tak berdosa,” Ciok Bok berkata pula. “Kalau nona baju merah yang gugur itu betul adalah nona yang dimaksud Li-heng, maka Li-heng justru harus berani hidup terus untuk menuntut balas baginya dan juga untuk membalas dendam bagi mereka-mereka yang tak berdosa itu.”
Baca Juga: Mau Terapkan Kerja Hybrid? Pelajar Konsep dan Strateginya Bagi Perusahaan Anda
Muka Su-lam menjadi merah, katanya: “Banyak terima kasih atas nasihat emas Ciok-heng,” kata Su-lam sambil mengusap air matanya. Waktu dia mendongak, ternyata hari sudah terang.
“Aku harus berangkat sekarang, banyak terima kasih atas berita Li-heng tentang diri Sumoay, aku ingin mencari mereka ke Lembah Kupu-Kupu,” kata Ciok Bok. “Adakah Li-eng mempunyai rencana selanjutnya? Bila engkau tidak terburu-buru harus pulang, bagaimana kalau kita berangkat bersama?”
“Pasukan berkuda Mongol pergi datang secepat angin, saat ini mereka tentu sedang menerjang ibukota Sehe, kesempatan ini akan kugunakan untuk melintasi perbatasan, kalau sampai pasukan Mongol putar balik tentu sukar melewati rintangan.”
Ciok Bok tahu Su-lam adalah buronan dari Mongol, karena alasannya memang tepat, segera ia menjawab, ‘Baiklah. Kita sampai bertemu pula kelak.”
“Pakaianmu yang berlepotan darah ini terlalu menyolok, kalau suka silakan Ciok-heng pakai bajuku ini,” kata Su-lam sambil menanggalkan baju dalamnya yang cukup bersih.
Ciok Bok juga tidak menolak, perawakan merekapun hampir sama, maka cocok juga bagi Ciok Bok, ia mengucapkan terima kasih dan bertanya apakah Su-lam tiada pesan lain-lain.
Su-lam seperti merenungkan sesuatu, sejenak kemudian baru menjawab, “Tidak ada pesan apa-apa, cukup sampaikan salamku saja kepada Sumoaymu dan nona Beng, katakan aku sudah pulang dengan selamat.”
Setelah Ciok Bok pergi, seorang diri Su-lam mengheningkan cipta dan berdoa, “Adik Wan, aku bersumpah bagimu, tak perduli engkau sudah meninggal atau masih hidup, yang pasti selama hidupku ini aku takkan menikah lagi. Jika engkau betul telah meninggal, maka aku pasti akan membunyh Tartar Mongol sebanyak-banyaknya untuk membalas sakit hatimu.”
Sumpah Su-lam ini bukannya berlebih-lebihan, soalnya pada waktu berada bersama Nyo Wan telah diketahui nona itu paling menguatirkan hubungan Su-lam dengan Beng Bing-sia, hal ini cukup dipahami Su-lam sendiri. Sebabnya dia tidak mau ikut Ciok Bok kembali ke Lembah Kupu-Kupu justru disebabkan hal itu.
Artikel Terkait
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (74)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (74)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (75)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (76)
Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (77)