• Selasa, 26 September 2023

Menduga Hubungan Lukisan Raden Saleh dengan Puisi Chairil Anwar

- Senin, 18 Juli 2022 | 09:33 WIB
Lukisan karya Raden Saleh "Kebakaran Hutan" (historia)
Lukisan karya Raden Saleh "Kebakaran Hutan" (historia)

Baca Juga: Sunmori a la Bang Nini

Larik ke lima, hanya satu kata; Mati. Ini adalah persepsi pada apa yang akan terjadi pada binatang-binatang dalam lukisan itu (kecuali mungkin para burung, tapi tidak luput jika pada sarang mereka ada anak-anak mereka yang belum bisa terbang). Tempat pelarian mereka berakhir yang tampak dalam lukisan itu adalah sebuah tebang yang tinggi dan di bawahnya ada sungai besar. Jika mereka memilih terjun pun kemungkinannya akan mati tenggelam. Chairil Anwar dalam puisi itu menyimpulkan akhir perjalanan kepanikan mereka dalam kematian.

Empat larik selanjutnya bisa digabungkan; Barang kali ini diam kaku saja / dengan ketenangan selama bersatu / mengatasi suka dan duka / kekebalan terhadap debu dan nafsu, ini juga menjadi semacam respon seseorang yang melihat peristiwa yang tergambar dalam lukisan itu. Kengerian yang ditampakkan akan membuat orang tercenung, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Lukisan yang begitu bagus dan terlihat hidup karya seorang maestro tentu membuat yang melihatnya akan merasa kagum, senang, bersuka, tapi apa yang digambarkannya membuat siapapun yang memandang akan getun, sedih, berduka.

Dalam keadaan seperti itu, barangkali yang bisa diperbuat, seperti tecermin dari apa yang diperlihatkan pada mata dua ekor banteng itu adalah kepasrahan pada apa yang akan menimpa diri mereka; pasrah. Hal ini digambarkan oleh tiga larik selanjutnya; Berbaring tak sedar / Seperti kapal pecah di dasar lautan / jemu dipukul ombak besar. Kata “berbaring” di sana digambarkan oleh posisi banteng betina yang rebah.

Baca Juga: Prof. Dr. Suparman Guru Besar Baru di Bidang Ilmu Matematika Terapan UAD

Tiga larik berikutnya, yaitu; Atau ini./ Peleburan dalam Tiada / dan sekali akan menghadap cahaya seolah ditempelkan pada seekor harimau besar yang menghadapkan wajah ke arah penikmat lukisan itu. Harimau tersebut membelalakkan mata, membuka mulutnya lebar-lebar sehingga terlihat taring-taringnya yang besar. Mengancam siapa? Apakah ia masih punya tawaran terhadap bahaya kematian yang segera tiba? Ia seakan telah menyadari akhir hidupnya tapi tak mau peduli. Yang ia mau saat itu adalah menunjukkan eksistensinya sebelum kematian yang meniadakan dirinya tiba.

Dalam puisi “Suara Malam” terdapat sesuatu yang ganjil. Ada satu baris dibiarkan diisi oleh deretan titik. Seolah penyair kita telah kehabisan kata. Atau, inilah saat ia tercekat oleh perihnya peristiwa yang digambarkan dalam lukisan Raden Saleh itu.

Selanjutnya, Chairil Anwar seperti masuk ke dalam lukisan itu sebagai korban. Ia menulis sebuah pekik kepedihan; Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar. Ia merasa turut terbakar, tapi apa yang membakar dirinya? Ia sendiri tidak tahu apa yang mengakibatkan ia merasa terbakar. Karena itulah pungkasan dari larik itu; segala samar.

Baca Juga: Review Serial Ms. Marvel, Mungkin Seperti Ini Seharusnya Mengisahkan Remaja Jadi Pahlawan Super

Saat itu, timbul semacam kesadaran bahwa lukisan dengan peristiwa yang (mungkin, atau pastinya) tak nyata itu telah membuatnya seperti melintasi ruang yang lain. Atau dengan lain perkataan, ada semacam batas yang dilaluinya saat menikmati lukisan tersebut; Aku telah melewati batas.

Bisa jadi, pernyataan tersebut berkaitan dengan persepsi tentang kematian atau memberi kepastian bahwa mereka, para binatang itu sudah pasti akan mati, seperti telah ditulisnya di bagian tengah puisi itu. Sebab, dalam setiap peristiwa tentu masing-masing punya garis takdirnya sendiri-sendiri.

Mungkin juga, Chairil melihat pada sekawanan burung-burung, utamanya burung elang laut yang bisa melarikan diri dengan kekuatannya untuk terbang meninggalkan kawasan hutan yang terbakar itu. Namun, akhirnya untuk burung itu pun ia punya kesan mendalam; apakah ia bisa kembali ke sarangnya di dalam hutan yang terbakar itu? Berkumpul dengan anak-anaknya kembali? Tentu tidak akan bisa.

Baca Juga: Review Spirited Away: Salah Satu Film Animasi Terbaik

Hutan yang terbakar sudah pasti menjadi suatu kehancuran. Sesuatu yang tidak bisa memberikan suasana pulang seperti ketika mereka, para binatang itu, mencari makan di hari-hari tenang. Dan hal inilah yang menjadi pertanyaan sekaligus pernyataan akhir dalam puisi itu; Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Perlu diperhatikan kata “tertutup” yang artinya bukan dilakukan dengan sikap sadar dan permisif seperti “ditutup.” Ada kondisi yang tiba-tiba, tidak disadari seperti oleh embusan angin, atau yang lain, maka pintu menjadi “tertutup”. Apalagi diimbuhi dengan frasa “dengan keras” yang bermakna daun pintunya ditutup dengan diempas atau dibanting. Seperti sebuah pengusiran. Ini kondisi yang mau tak mau membuat kita tak mau lagi kembali ke sana.

Halaman:

Editor: Dedy Tri Riyadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (198)

Selasa, 26 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (197)

Senin, 25 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (196)

Minggu, 24 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (195)

Sabtu, 23 September 2023 | 09:00 WIB

Auman Sang Singa Tua

Jumat, 22 September 2023 | 18:23 WIB

Lantunan Buku Harian Dido

Jumat, 22 September 2023 | 18:05 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (194)

Jumat, 22 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (193)

Kamis, 21 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (192)

Rabu, 20 September 2023 | 09:00 WIB

Cerbung : Pahlawan Padang Gurun (191)

Selasa, 19 September 2023 | 09:00 WIB

Lili Tak Mampir ke Moskow

Senin, 18 September 2023 | 19:09 WIB
X